Senin, 27 Agustus 2012

Selamat Datang di Blog razichania.blogspot.com: Nikah Bawah Tangan (Kawin Siri)

Selamat Datang di Blog razichania.blogspot.com: Nikah Bawah Tangan (Kawin Siri): Nikah Bawah Tangan (Kawin Siri)


Nikah Bawah Tangan (Kawin Siri)

Oleh: Fakhrurazi

Perkawinan bawah tangan atau yang dikenal dengan berbagai istilah lain seperti ‘kawin siri’ atau ‘nikah sirri’, adalah perkawinan yang dilakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilakukan tidak di hadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ dan semacamnya dan tidak mengatur secara khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2.
Ada asumsi bahwa perkawinan bawah tangan adalah sah menurut agama. Apakah asumsi seperti ini benar ? perlu penelitian yang serius tentang hal ini. Karena dalam hukum Islam sebuah perkawinan itu baru dikatakan sah jika telah terpenuhi semua rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh agama. Dalam banyak kasus yang terjadi, perkawinan bawah tangan dilakukan dengan maksud tertentu, dan perkawinan tersebut dilakukan dengan tujuan agar tidak diketahui umum. Apakah perkawinan dalam bentuk seperti ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam ? Nabi dalam banyak hadisnya selalu mengingatkan untuk menghadiri walimah, mengi’lankan (mengumumkan) perkawinan. Tujuannya tentu supaya agar diketahui umum bahwa antara si A dan si B telah terikat tali perkawinan. Rasulullah bersabda:
عن عامربن عبدالله الزبير عن أبيه رضي الله عنهم أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أعلنوا النكاح
Dari Amir bin Abdullah az-Zuhair dari ayahnya r.a (katanya): Sesungguhnya Rasulullah S.A.W. bersabda: “Beritahukan oleh kamu sekalian pernikahan itu”. (Diriwayatkan oleh Ahmad dan dinilai sahih oleh al-Hakim).
Hadis di atas secara tegas menyatakan tentang perintah untuk mengumumkan dan memberitahukan kepada khalayak ramai tentang terjadinya pernikahan. Mahfumnya adalah sebuah pernikahan tidak diperkenankan untuk merahasiakannya dari masyarakat. Karena adanya perkawinan akan melahirkan banyak sekali konsekuensi di belakangnya.
Jika diperhatikan yang terjadi di lapangan (realita), perkawinan bawah tangan yang lazim terjadi secara umum melanggar rukun nikah, seperti dengan menggunakan wali yang tidak berhak, dengan sepihak si wanita mengangkat orang lain sebagai wali atau malah menjadikan si Penghulu (bukan PPN resmi) langsung sebagai wali hakim. Apakah perpindahan wali itu begitu mudah dalam Islam ? Dalam Islam secara tegas dinyatakan dalam hadis Nabi:
لا نكاح الا بولي 
“Tidak sah nikah kecuali bila ada wali” (HR. Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizi, An-Nasa’i, dan Ibn Majah).
Kemudian hadis lain yang menyatakan:
فاٍن شتجروا فالسلطان ولى من لا ولى له
Apabila wali tidak mau menikahkan maka Sultan/pemerintah menjadi wali bagi wanita yang tidak lagi memiliki wali. (HR. Abu Daud, At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Jadi perlu penela’ahan yang mendalam sebelum menetapkan bahwa pernikahan bawah tangan iu adalah sah. Orang yang melakukan perkawinan di bawah tangan patut diduga ada sesuatu yang disembunyikan, sementara pernikahan itu sendiri pada dasarnya harus diberitahukan kepada khalayak supaya tidak timbul fitnah. Di samping itu juga dengan tujuan agar diketahui apakah antara mereka tidak ada pelanggaran terhadap halangan perkawinan.
Selanjutnya jika dibicarakan masalah dampak dari perkawinan bawah tangah, bisa dikatakan bahwa secara umum sangat merugikan bagi isteri dan perempuan, baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum dampak yang ditimbulkan antara lain:
  • Tidak dianggap sebagai istri sah;
  • Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia;
  • Tidak berhak atas harta gono-gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi;
Sementara secara sosial dampaknya adalah sebagai berikut:
- Sulit bersosialisasi karena perempuan yang melakukan perkawinan bawah tangan sering dianggap telah tinggal serumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan (alias kumpul kebo) atau dianggap menjadi istri simpanan.
Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni:
Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Ketidakjelasan status si anak di muka hukum, mengakibatkan hubungan antara ayah dan anak tidak kuat, sehingga bisa saja, suatu waktu ayahnya menyangkal bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya.
Yang jelas merugikan adalah, anak tidak berhak atas biaya kehidupan dan pendidikan, nafkah dan warisan dari ayahnya
Sementara terhadap laki-laki atau suami hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang perempuan. Yang terjadi justru menguntungkan dia, karena:
  1. Suami bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum
  2. Suami bisa berkelit dan menghindar dari kewajibannya memberikan nafkah baik kepada istri maupun kepada anak-anaknya
  3. Tidak dipusingkan dengan pembagian harta gono-gini, warisan dan lain-lain

Menurut hukum perkawinan di Indonesia, maka perkawinan di bawah tangan ini:
  1. Tidak mempunyai kekuatan hukum karena dianggap tidak pernah ada perkawinan sehingga ia tidak menimbulkan akibat hukum.
  2. Tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perkawinan yang baru sebagaimana diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Perkawinan.
  3. Tidak dapat dijadikan dasar untuk menuntut hak oleh pihak wanita sebagai isteri dan juga anak-anaknya.
  4. Tidak dapat dijadikan dasar untuk mejatuhkan pidana berdasarkan ketentuan pasal 219 KUHP.

Jika perkawinan yang dilakukan di bawah tangan itu sudah terjadi, maka jalan keluarnya adalah dengan mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama (Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 7). Namun Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan:
  1. dalam rangka penyelesaian perceraian;
  2. hilangnya akta nikah;
  3. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
  4. perkawinan terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan;
  5. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut UU No. 1/1974.

Artinya, bila ada salah satu dari kelima alasan diatas yang dapat dipergunakan, maka permohonan Istbat Nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

Tidak ada satu pun dasar hukum yang cukup kuat untuk dijadikan alasan dan argumentasi dibenarkannya nikah bawah tangan, baik dari segi syara’, yuridis maupun dari aspek sosiologis, karena prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya adalah untuk melindungi warganya agar terhindar kesewenang-wenangan pihak yang tidak bertanggung jawab. 

Lalu kenapa kita tetap berkeyakinan bahwa pernikahan dibawah tangan itu adalah sah, dengan alasan tidak dalil yang mengatur.

Menutup pembahasan ini ada baiknya kita kutip komentar Amir Syarifuddin (Guru Besar IAIN Imam Bonjol Padang) yang menyatakan bahwa bukan fikih yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada orang-orang yang menempatkan fikih yang ditulis untuk waktu itu, untuk kepentingan sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar